Ketika 2017 baru akan
berakhir, aku menulis resolusi tahun 2018. Di penghujung tahun 2018 ini, sama
seperti akhir tahun-tahun sebelumnya, aku merasa I did nothing throughout the year.
Ada buanyak resolusi (termasuk
belajar nyetir mobil yang bhay nggak dimulai sama sekali L). Salah satu resolusi terbesar sekaligus
kegagalan ternyesek adalah beasiswa kuliah S2. Akhir tahun 2017 udah mulai les
IELTS (iya setidak pede itu meskipun lulusan jurusan bahasa inggris). Tapi nggak
berani langsung ambil tes. Awal tahun coba beasiswa penuh yang ditawarkan pemerintah
luar negeri yang membolehkan nilai IELTS nanti belakangan atau boleh pakai
TOEFL ITP. Gagal lah. LOL.
Setelahnya, aku coba beasiswa yang ditawarkan pemerintah sendiri. Aku mulai menyiapkan berkas yang dibutuhkan termasuk menulis esai. Waktu itu sempat tanya tanya dengan orang yang pernah ikut di balik layar seleksi beasiswa tersebut. Setelah diskusi panjang, langsung hmmm ya ampun ternyata esaiku banyak cacatnya. Long story short, aku ambil IELTS dan hasilnya keluar di hari yang sama dengan deadline beasiswa. IELTS oke. Tes kesehatan pun oke. Sebelumnya sempet parno karena ada masalah dengan pencernaan. Lolos seleksi administrasi. Tahap selanjutnya adalah Tes Potensi Akademik yang menggagalkanku ke tahap selanjutnya. Sedih? Ya iyalah, cuy. Rasanya gini ya udah bermimpi yang waaaw eh tapi nggak kesampaian.
Setelahnya, aku coba beasiswa yang ditawarkan pemerintah sendiri. Aku mulai menyiapkan berkas yang dibutuhkan termasuk menulis esai. Waktu itu sempat tanya tanya dengan orang yang pernah ikut di balik layar seleksi beasiswa tersebut. Setelah diskusi panjang, langsung hmmm ya ampun ternyata esaiku banyak cacatnya. Long story short, aku ambil IELTS dan hasilnya keluar di hari yang sama dengan deadline beasiswa. IELTS oke. Tes kesehatan pun oke. Sebelumnya sempet parno karena ada masalah dengan pencernaan. Lolos seleksi administrasi. Tahap selanjutnya adalah Tes Potensi Akademik yang menggagalkanku ke tahap selanjutnya. Sedih? Ya iyalah, cuy. Rasanya gini ya udah bermimpi yang waaaw eh tapi nggak kesampaian.
Every cloud always has a
silver lining. But, let’s be honest that it hurts. Aku seneng karena ada
temenku yang akhirnya akan berangkat kuliah tahun depan. But let’s be honest,
it hurts. Not that I am not happy for my friend. No. It just simply hurts.
Lalu, habis gagal timbulah
penyesalan. Coba kalau aku persiapan dari kuliah. Coba dulu aku nggak mikir dua
kali buat ikut kegiatan ini itu yang lebih bermanfaat. Coba aku belajar TPA
lebih giat. Coba aku ini itu. Ya karena ternyata gagal meraih sesuatu yang kita
pengen banget banget itu nyeseknya lebih nyesek dari apapun. Saat itu, aku tidak
mencoba bahagia, ya karena memang nggak bahagia rasanya. I cried. I screamed. I
mourned. I let myself grieve for a moment.
Entah kenapa tahun 2018
banyak perasaan nggak enaknya. Yang sebenernya dibentuk oleh diri sendiri. Pertama,
nggak enak karena merasa tidak ada apa-apanya dibanding teman-teman seumuranku
yang waaaw update kerjaan di tempat yang cool.
Kedua, nggak enak karena tiap ketemu keluarga besar kok rasanya aku gini gini
aja, mengingat sebagian besar keluargaku pada sukses huhuhu. Ketiga, nggak enak
karena selalu ditanyain gimana mau kuliah enggak dan w nggak bisa jelasin
panjang lebar karena males dan complicated aja rasanya. Dan banyak lagi. Again,
perasaan itu ada karena aku sendiri yang ciptain.
Tahun 2018 ini sempat
kepikiran pindah kerja tapi masih galau. Jadinya ya udah masih di kerjaan lama.
Kadang aku merasa kurang. Mau beli ini, kurang. Mau nabung, kurang. Buuut, I
feel happy. Aku senang bekerja dengan orang-orang di tempat kerjaku. Aku senang
masih bisa pulang ke rumah hampir setiap akhir pekan. Aku senang bisa punya
waktu untuk orang-orang terdekatku. Aku senang masih bisa bangun tanpa
terburu-buru takut macet atau ketinggalan kendaraan. Aku senang masih bisa
melakukan hobi lama dan mencoba hobi baru. Aku senang masih bisa jagong hahaha. Aku senang karena tiap
hari bisa marah-marah ke siswa *eh.
Ngomongin hal yang nggak
terlaksana di tahun ini mah nggak ada habisnya. Iya, sampai lupa terima kasih
sama diri sendiri. Terima kasih karena sudah berani mencoba. Selama ini aku cuma
bayangin gimana rasanya bisa dapat beasiswa kuliah S2 yang jauh gitu. Ya setidaknya
aku sudah berani menjalani setapak setapak tahap seleksinya. Memang kurang saja
usahanya. Aku juga berterima kasih karena tidak kehilangan sahabat-sahabat. Aku
mungkin kenal beberapa orang, tapi punya sahabat? S e d i k i t banget. Meskipun ada dari mereka yang jauh
secara jarak, tapi kami masih hahahihi dengan bantuan gawai. Itu sebuah
pencapaian. Kadang aku merasa yaaaudah kalau udah nggak pernah ngobrol juga. Hehehehe.
Daaan, terima kasih kepada
diriku sendiri yang mau terbuka sama orang ini. Yes, you. The person whom I can’t describe. You’re just too good to be
true, xxx.
Yang terakhir, terima kasih
kepada diriku sendiri yang selalu mengingatkanku untuk menulis. Akhir-akhir ini
aku nggak tau kenapa mager banget rasanya buat nulis. Lihat aja judul postingan ini. Bzzz. Tulisan ini pun setelah
kubaca ulang rasanya kurang... Ya sudah tidak apa-apa. Memulai lagi pasti ada
susahnya.
I thank myself for
keeping me sane, really.
No comments:
Post a Comment